K. H. Muhammad Fudholi
Kalau
kita berjalan/berkendara dari arah Bekasi menuju Cikarang melewati
jalan biasa, maka mesti kita akan melewati sebuah pasar, dengan model
bangunan lama, yang berada dekat sebuah sungai besar, dan penduduk
setempat menamakan sungai tersebut ‘Kali Jeruk’. Entah kenapa dinamakan
demikian ? Mungkin dahulu, di bantaran kali tersebut, banyak ditanami
pohon jeruk. Atau mungkin juga, dahulu itu menjadi tempat transaksi
penjualan buah jeruk, karena memang lokasinya berada dekat pasar
tradisional Cikarang.
Sesekali
boleh kita melihat ‘plang nama jalan’ yang ada di sekitar pasar
tersebut. Maka, pasti anda akan melihat sebuah plang berwarna hijau
bertuliskan nama jalan. ‘Jl. K.H. Fudholi’. Itu adalah nama jalan yang
diberikan oleh pemerintah Bekasi pada tahun 1972
Biasanya
suatu instansi/pemerintah memberikan sebuah nama jalan untuk ‘jalan
utama’ itu tidak sembarangan. Kalau tidak diambil dari nama seorang
tokoh, maka mungkin diambil dari seorang nama pahlawan. Dengan model
penamaan seperti itu, diharapkan masyarakat tidak masuk pada statemen
‘kacang lupa kulitnya’. Selalu ingat pada jasa seseorang, yang telah
mengabdikan dirinya pada agama, bangsa, dan negara.
Dan yang menjadi pertanyaan bagi kita semua adalah, siapa itu K.H. Fudholi ? Apakah ada seorang nama pahlawan nasional yang
bernama tersebut? Atau seorang tokoh yang cukup terkenal pada waktu
tempo dulu ? Apakah itu tercatat dalam untaian panjang sejarah, dalam
rangka merebut kedaulatan Negara Republik Indonesia ? Apakah kisahnya memang diketahui oleh rakyat Indonesia
yang berjumlah hampir 360 juta jiwa ?Apakah ia setenar Pangeran
Diponogoro? Atau R.A. Kartini yang dengan pemikirannya, mampu mengubah
citra perempuan agar kedudukannya sama dengan pria. Namun, tetap
mempertahankan adat dan norma kesopanan sebagai seorang wanita. Untuk
mengungkap semua pertanyaan itu, penulis mencoba mencari info yang
berkenaan dengan, siapa itu K.H. Muhammad Fudholi, sehingga namanya
dijadikan nama sebuah jalan yang berlokasi di Cikarang Utara.
K.H.
Muhammad Fudholi lahir di Cicurug Sukabumi 1901. Istrinya bernama
Maemunah, yang kenyataannya menurut ceria keluarga, masih ada hubungan
saudara dari keluarga besar yang ada di Cicurug Sukabumi.
Ayah
dari K.H. Muhammad Fudholi adalah H. Anwar, dan ibunya bernama
Murtafiah. Pada saat H. Anwar berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah
haji, K.H. Muhammad Fudholi masih berusia 5 tahun, dan adiknya masih
berusia di bawah 5 tahun. Ketika H. Anwar menunaikan ibadah haji, K.H.
Muhammad Fudholi baru saja selesai disunat/dikhitan. Kala itu, H. Anwar
berangkat haji seorang diri. Sementara istrinya Murtafiah, berdiam di
rumah, menjaga kedua anaknya yang masih kecil-kecil, yaitu, K.H.
Muhammad Fudholi dan Siti Fatimah.
Allah
berkehendak lain, H. Anwar meninggal di Mekkah, saat menunaikan ibadaha
haji. Sepeninggal H. Anwar, Murtafiah menikah dengan H. Rojiun, yang
asli Jakarta . Dari pernikahan Murtafiah dengan H. Rojiun, Allah menitipkan pada mereka berdua 4 orang anak. Setelah mereka tumbuh dewasa, gelar
Kiyai dan Unstadjah pun disandang oleh mereka. Keempat anaknya yaitu :
K.H. Royani, K.H. Tabroni, Ustadzah Romlah (suaminya Ustad M.Juned, guru
besar Universitas Assafiiyyah Jakarta), dan K.H Syafii.
Ketika
Ibunda K.H. Muhammad Fudholi menikah lagi dengan H.Rojiun, K.H.
Muhammad Fudholi dan adiknya diasuh oleh kakeknya yang bernama H. Yusuf.
H. Yusuf adalah seorang Syekh yang terkenal di Cicurug pada zamannya.
Dengan penuh tanggung jawab dan banyak pertimbangan, H. Yusuf
menyekolahkan K.H. Muhammad Fudholi dan satu orang anaknya yang bernama
H. Affandi, untuk menimba ilmu di Jakarta , tepatnya di daerah Pekojan. Nama sekolah tempat K.H. Muhammad Fudholi menuntut ilmu adalah Jamiatul Khoir.
Setelah
lulus dari Jamiatul Khoiri, H. Affandi dan K.H. Muhammad Fudholi
mengamalkan ilmunya di pondok pesantren Al-falah Cicurug Sukabumi.
Karena banyak kewajiban yang harus dilakukan seorang Kyai, K.H. Muhammad
Fudholi pun berbagi tugas dengan K.H. Affandi, dan berhijrah ke Cikarang Bekasi. K.H. Muhammad Fudholi melakukan hijrah setelah mempunyai 4 orang anak.
Jamiatul
Khori adalah sebuah sekolah khusus orang Arab. Pada saat itu, Jamiatul
Khoiri dipimpin oleh seorang kedutaan Arab Saudi yang bernama Ustad
Dhia.
Pada
awal abad ke-20, di Pekojan berdiri sebuah Madrasah Jamiatul Khair
(perkumpulan kebaikan), yang didirikan pada tahun 1901. Organisasi ini
dibentuk oleh Ali dan Idrus, keduanya dari keluarga Shahab. Perkumpulan
ini menimbulkan simpati dari tokoh-tokoh Islam. Seperti, K.H. Ahmad
Dahlan (pendiri Muhammadiyah). HOS Cokroaminoto (pendiri Syarikat
Islam), dan H. Agus Salim. Pada tahun 1903, Jamiatul Khoir mengajukan
permohonan untuk diakui sebagai organisasi. Namun, baru tahun 1905,
permohonannya dikabulkan oleh pemerintah Belanda. Dari tempat inilah
diperkirakan timbul ide para pemuda Islam kala itu, untuk membentuk
organisasi lainnya. Seperti, organisasi Budi Utomo yang berdiri 1908. Jamiatul Khair banyak mendatangkan guru agama dari Negara Islam. Di samping itu, ia juga membuat surat kabar Al-Mu’yat dan majalah Al-Liwa berbahasa Arab, yang menyebarkan paham Pan Islamisme di Batavia
dan Nusantara. Tempat berdirinya Jamiatul Khair sekarang ini, kira-kira
berada di jalan Pekojan II, biasa disebut Masjid Ar raudah (http//razzleay.multiply.com)
Dengan
sebab bersekolah di Jamiatul Khoiri, K.H. Muhammad Fudholi mampu
berbahasa Arab, dan Belanda dengan baik. Menurut cerita dari anaknya,
setelah lulus dari Jamiatul Khoiri, K.H. Muhammad Fudholi sempat
berpindah-pindah tempat dari pesantren ke pesantren, untuk belajar ilmu
agama Islam dengan lebih lengkap.
Sebelum
memutuskan untuk menikah dengan Maemunah, K.H. Muhammad Fudholi
sebenarnya termasuk orang yang ‘benghar’ pada waktu itu, dan mendiang
istrinya pun sama berasal dari keluarga yang cukup terpandang. Karena
sama-sama berasal dari keturunan ningrat, akhirnya pihak keluarga
mempertemukan mereka berdua sampai akhirnya menjadi pasangan suami istri
yang serasi. Awal pertemuan mereka adalah melalui hasil comblangan dari
K.H Rosyadi (pemilik pondok pesantren di Rengas Bandung Bekasi) yang
juga masih famili dari keluarga almarhum K.H Muhammad Fudholi. Merasa
perkenalannya ada banyak kecocokan, mereka pun melanjutkan pada tahap
pernikahan.
Setelah menikah dan mempunyai 4
orang anak, K.H. Muhammad Fudholi hijrah ke Cikarang Bekasi, untuk
dakwah menyiarkan ajaran Islam. Pada saat itu, Cikarang adalah kota
yang terkenal dengan para jawara dan garong. Ajaran agama Islam, belum
sepenuhnya menyebar di wilayah Cikarang Bekasi, dan otomatis membutuhkan
banyak figure ustad/kyai yang mampu merubah kebiasaan orang Cikarang,
yang suka berbuat kemungkaran.
Mata
pencaharian orang Cikarang pada waktu itu sebagian besarnya adalah
sebagai petani dan penjual kambing dan sapi potong. Sampai saat ini pun,
profesi itu sudah menjadi turun temurun bagi sebagian masyarakat
Cikarang, terutama di daerah Kaum, Kebon Kopi, Cikarang Utara.
Ketika
hijrah ke Cikarang, K.H. Muhammad Fudholi ikut dengan K.H Rusyadi.
Maklum, pada saat hijrah, K.H. Muhammad Fudholi tidak mempunyai tempat
tinggal di Cikarang. Selama kurang lebih satu bulan, K.H. Muhammad
Fudholi ikut dengan K.H Rusyadi untuk mencoba hidup di kota Cikarang yang cukup panas, walau pun sebagian besar arialnya adalah persawahan.
Saat
K.H. Muhammad Fudholi melakukan dakwah dari rumah ke rumah, masjid ke
masjid, dan beberapa majlis taklim yang ada di daerah Cikarang, K.H.
Muhammad Fudholi mendapatkan tawaran dari tuan tanah yang ada di daerah
Cikarang. ‘Kalau ingin menempati satu areal lahan yang cukup luas untuk
dijadikan pondok pesantren, K.H. Muhammad Fudholi harus menerima
tantangan dari tuan tanah’. Tantangan yang harus dihadapi K.H. Muhammad
Fudholi adalah, “Kalau K.H. Muhammad Fudholi bisa tahan tinggal di
tempat/tanah dan rumah yang telah ditunjuk oleh tuan tanah selama satu
bulan, maka tanah dan rumah minimalis tersebut akan menjadi milik K.H.
Muhammad Fudholi” Dengan niat yakin karena Allah untuk menegakan Islam
di kota Jawara, K.H.
Muhammad Fudholi memberanikan diri mengambil tawaran tersebut. Dengan
izin Allah, alhamdulillah K.H. Muhammad Fudholi mampu melewati masa yang
telah ditentukan. Cerita mistis dan brutalnya para garong yang ada di
kawasan Cikarang, tidak menjadikan K.H. Muhammad Fudholi mundur
dari niat tulus menegakkan agama Allah. Atas keberhasilan tersebut,
konsekuensinya adalah, K.H. Muhammad Fudholi berhak atas sebidang tanah
yang nantinya dijadikan pondok pesantren Madrasah Jannatul Amal (MZA),
yang berlokasi tepat di depan stasiun kereta api Cikarang.
Menurut
kabar yang beredar, pada awalnya, setiap kyai yang menemati tempat
tersebut, satu Minggu kemudian, kyai tersebut meninggal dunia.
(wallahualam). Konon katanya, tempat tersebut penuh dengan cerita
mistis. Menerut cerita masyarakat, tempat tersebut merupakan sebuah
tempat untuk membuang mayat kepala orang. Maklum, masa itu adalah
masanya jawara berkuasa. Siapa yang kuat dia yang menang. Seleksi alam
sangat berlaku pada masa itu.
Setelah
K.H. Muhammad Fudholi berhasil menempati lokasi tersebut selama satu
bulan lebih, akhirnya oleh tuan tanah, secara resmi tempat tersebut
dialihkan ke Camat (orang Klari, Karawang), baru kemudian dihibahkan
dengan disaksikan beberapa orang untuk kemudian dijadikan sebuah pondok
pesantren. Yang menurut para alumni, mungkin itu adalah awal benih
pesantren pertama di wilayah Cikarang, mungkin juga di wilayah Bekasi.
Untuk
merayakan kemenangan K.H. Muhammad Fudholi dalam menaklukkan para
garong yang ada di wilayah Cikrang, H. Bujang yang tidak lain adalah
seorang yang cukup ternama pada masa itu, membuat pesta rakyat yang
diberi nama pesta Wilhelmina, atau pesta raja.
Setelah mendapatkan tempat yang layak untuk dijadikan sebuah pondok pesantren, K.H. Muhammad Fudholi mengajak istri dan keempat anaknya
untuk ikut hijrah ke Cikarang Bekasi. Dengan niat tulus ikhlas
menyebarkan ajaran Islam di Bekasi, K.H. Muhammad Fudholi rela
meninggalkan harta bendanya berupa tanah yang cukup luas di Cicurug
Sukabumi. Karena pada saat itu K.H. Muhammad Fudholi tidak mempunyai
surat-surat kepemilikan tanah. Akhirnya, saat ini tanah tersebut tidak
diketahui rimbanya.
§
Kelas
kecil dan rumah dari bilik, menjadi bekal K.H. Muhammad Fudholi untuk
mulai merintis pemuda Islam di wilayah Cikarang dan sekitarnya. Karena
K.H. Muhammad Fudholi mempunyai kharisma yang cukup tinggi, konon banyak
orang dari berbagai daerah, menuntut ilmu dengan K.H. Muhammad Fudholi.
Setelah
dirasa mulai berkembang, akhirnya K.H. Muhammad Fudholi membeli
sebidang tanah yang ada di belakang rumahnya hasil dari uang infak
masyarakat. Di tahun berikutnya, H. Nawawi menghibahkan sebidang tanah,
untuk dijadikan lahan perluasan pondok pesantren Madrasah Jannatul Amal.
Pada saat itu, H. Nawawi adalah termasuk orang yang cukup terpandang
secara financial. Jadi, kalau hanya memberikan sebidang tanah untuk
menegakkan Islam, tidak ada masalah sedikit pun.
Madrasah
Jannatul Amal didirikan pada tahun 1932. Dengan niat yang tulus mencari
keridhoan Allah, Madrasah Jannatul Amal berkembang pesat hingga sampai
dengan kelas 7, dan dibagi menjadi dua session, kelas pagi dan kelas
siang. Untuk yang kelas siang, adalah santri yang pada pagi harinya
bersekolah di sekolah rakyat (SR). Dan untuk yang belajar pagi, mereka
adalah santri yang mukim di MJA. Karena membludaknya santri, lahan yang
memang terbatas, semaksimal mungkin dijadikan tempat untuk menuntut
ilmu. Keterbatasan tempat, tidak menjadikan penghalang bagi beliau untuk
tetap menyebarkan Islam di kota jawara.
Santri
yang belajar di Madrasah Jannatul Amal bukan hanya dari lingkungan
Cikarang saja. Banyak anak muda yang rela mengorbankan waktunya untuk
mencari keridhoan Allah dengan mencari ilmu agama. Menurut cerita,
santri MJA banyak yang berasal dari Setu Cibitung, Lemah Abang, sampai
dengan ke Rengas Bandung/Suka Mandi, ujung Bekasi bagian Timur.
Di
samping sebagai ustad di Madrasah Jannatul Amal, K.H. Muhammad Fudholi
Juga memberikan ceramah keliling di sekitar Pegaden, Karawang, Cikarang,
Bekasi, dan Jakarta. Pada saat musim haji tiba, K.H. Muhammad Fudholi
mendapatkan tugas dari pemerintah Kabupaten Bekasi untuk menjadi
pembimbing haji. Tercatat sudah 4 kali K.H. Muhammad Fudholi berangkat
haji, sekaligus membimbing jamaah haji Bekasi. Waktu haji pada masa itu
cukup lama, sekitar 7 bulan, karena hanya menggunakan lintas air, yaitu
dengan menggunakan kapal laut.
Kegiatan
K.H. Muhammad Fudholi dari pagi sampai dengan sore hari adalah mengajar
anak-anak santri tentang ajaran agama Islam. Selepas isya, menurut
cerita, K.H. Muhammad Fudholi pergi keluar rumah untuk melakukan perang
gerilya. Perang gerilya yang ia lakukakan adalah melawan tentara belanda
secara gerilya. Pasukan Belanda yang pada waktu itu memang sudah cukup
lama menjajah kawasan Indonesia ,
menjadikan warga Cikarang hidup jauh dari ketenangan. Betapa tidak,
ketika mereka sedang melakukan aktifitas layaknya manusia normal, benyak
terjadi pertumpahan darah, yang membuat ketakutan tersendiri bagi
masyarakat awam.
Kendaraan
yang dipakai K.H. Muhammad Fudholi dalam melakukan perang gerilya
adalah seekor kuda yang sangat gagah. Ia kerap memakai jubah putih dalam
melaksakan aksinya melawan penjajah Belanda.
Menurut
berita dari keluarga, K.H. Muhammad Fudholi pernah dipenjara 10 hari
oleh Belanda. Pada saat itu, markas Belanda memang tidak begitu jauh
dari MJA, sekitar 500 meter dari MJA. Markas yang dipakai oleh Belanda
adalah rumah kediaman dari Bapa Ranta.
K.H.
Muhammad Fudholi tidak mengakui kalau dirinya adalah ketua Masyumi,
sekaligus pejuang yang mempertahankan keutuhan Negara Republik Indonesia . Beliau hanya mengakui kalau ia hanya
sebagai seorang ‘ustad’ atau guru ngaji biasa, tidak ada tugas tambahan
sebagai pejuang. Akhlirnya, Belanda pun geram dan memasukan K.H.
Muhammad Fudholi ke dalam tahanan Belanda.
Aktifitas
K.H. Muhammad Fudholi saat berada di penjara tidak lain hanya mengaji,
berzikir, dan solat. Sampai-sampai petugas sel mengira kalau K.H.
Muhammad Fudholi ini sudah
gila, lantaran selalu menggoyang-goyangkan kepalanya. Karena Belanda
bingung dengan hilir mudik anak santri yang menjenguk beliau, akhirnya
Belanda membebaskan beliau, karena tidak enak hati dan tidak punya cukup
bukti untuk memenjarakan beliau.
Setelah
10 hari berada di sel, K.H. Muhammad Fudholi diperbolehkan oleh Belanda
untuk pulang ke rumah, dan disuruh berobat. Mendapatkan kesempatan
manis dari pihak Belanda, Halimi, yang pada saat itu sebagai tokoh
masyarakat, membawa K.H. Muhammad hijrah ke Kali Pasir Jakarta. Selama
berbulan-bulan K.H. Muhammad Fudholi menjadi buronan tentara Belanda.
Sampai akhirnya, ia memiliki banyak murid di Jakarta .
Selama
masa persembunyian K.H. Muhammad, sekolah MJA, masih terus berjalan
seperti biasa. K.H. Muhammad mengutus beberapa anak muridnya, untuk
tetap melakukan aktifitas menuntut ilmu bagi semua santri. Tidak ada
kata ‘berhenti’ dalam menuntut ilmu di jalan Allah. Darah perjuangan,
akan tetap mengalir pada sebagian besar masyarakat Cikarang.
Sekolah
Madrasah Jannatul Amal yang didirikan pada tahun1932, menjadi sekolah
yang cukup digandrungi. Karena pada saat itu, memang tidak ada sekolah
untuk daearah Cikarang dan sekitarnya yang bisa dijadikan pijakan umum
bagi masyarakat Cikarang dalam menuntut ilmu. Maka bisa
dikatakan, Madrasah Jannatul Amal adalah pondok pesantren pertama untuk
daerah Cikarang dan sekitarnya yang mempunyai model pembelajaran
formal.
§
Menurut
cerita, K.H. Muhammad Fudholi dikenal dengan sebutan ‘ulama zuhud’,
yang artinya ulama yang sama sekali tidak tertarik dengan gemerlap
kehidupan dunia. Betapa pun setiap pejabat/tuan tanah menawarkan
sebidang tanah kepadanya, ia tidak mau menerimanya. Menurutnya, “Buat
apa tanah banyak-banyak…?”
Perawakan
K.H. Muhammad Fudholi yang tinggi besar dengan hidung mancung dan kulit
putih, menambah keyakinan kalau K.H. Muhammad Fudholi adalah orang yang
tegas dan kuat untuk menegakkan kebenaran. Ia adalah seorang ustad yang
sangat disegani. Wibawanya dalam menangajar, menjadi kenangan
tersendiri bagi para alumni. Menurut cerita, pada saat K.H. Muhammad
Fudholi ingin mengajar di kelas, terlebih dahulu yang masuk ke ruang
kelas adalah minyak hajar aswad yang memang menjadi ciri khas beliau,
baru kemudian orangnya. Saat bau tersebut sudah mulai tercium, semua
santri sunyi senyap tidak ada kata atau tindakan yang menjadikan beliau
marah. Dengan keadaan tenang yang seperti itu, proses belajar mengajar
berjalan dengan khikmat.
Karena
berkembang pesat dan tidak mempunyai tempat yang cukup untuk menampung
para santri, akhirnya Madrasah Jannatul Amal membuka cabang di beberapa
tempat. Diantara MZA II yang sekarang menjadi Madrasah Assalam yang
berlokasi di daerah Sempu Cikarang Utara. MZA III yang sekarang menjadi
Madrasah Almakmur yang berlokasi di dekat Kali Cijeruk. MZA IV yang
sekarang menjadi Madrasah Tarbiyatussibyan yang berlokasi di Sukatani.
MZA Alhikmah, yang sekarang menjadi Madrasah Alhikmah yang berlokasi di
belakang rumah sakit Bhakti Husada Cikarang Utara. Menurut penuturan
dari Ustadzah Yayah Zakiah, jumlah santri MJA saat itu mencapai 500
santri, yang tersebar dari beberapa kota sekitar Jatinegara dan
Karawang.
Menurut
cerita, K.H. Muhammad Fudholi merupakan seorang tokoh yang masih
mempunyai silsilah keturunan dengan Pangeran Jayakarta. Dengan demikian,
sangat mungkin tekad untuk menegakkan Islam dan memerdekakan Indonesia dari penjajah mengalir begitu deras.
Dalam
situs internet Pemerintah Jakarta Timur disebutkan, Pangeran Jayakarta
adalah nama lain dari Pangeran Ahmad Jakerta, putra Pangeran Sungerasa
Jayawikarta dari kesultanan Banten. Namun, menurut sebuah sumber sejarah
lain, Pangeran Jayakarta adalah putra Ratu Bagus Angke, juga bangsawan
asal Banten. Ratu Bagus Angke alias Pangeran Hasanuddin adalah menantu
Fatahillah atau Falatehan yang konon menantu Sunan Gunung Jati atau
Syarif Hidayatullah, peletak dasar kesultanan Cirebon dan Banten. (http://maulanusantara.wordpress.com)
Semasa hidupnya, K.H. Muhammad Fudholi mempunyai lima
belas anak laki-laki dan perempuan. Namun, satu persatu titipan
tersebut diambil oleh pemiliknya dan hanya tersisa 5 orang, dan semuanya
perempuan. Lima orang itu adalah : Ustadzah Zahrotul Mila, Ustadzah Yayah Zakiyah, Ustadzah Wardah, Ustadzah Kholisoh, dan Ustadzah Fuikoh.
Tahun 1945, kira-kira jam setelah subuh, K.H. Muhammad Fudholi dihubungi oleh Wedana agar meninggalkan kota
Cikarang untuk sementara waktu, karena akan ada penyerangan secara
membabi buta dari Belanda. Ketika baru sebagian rakyat Cikarang naik
kereta yang memang difasilitasi oleh Wedana tersebut, datang pasukan
Laskar Rakyat dengan membabi buta menyerang dan menembaki rakyat yang
memang sedang ketakutan. Kanon/basoka
diarahkan dengan random ke kawasan Cikarang. Pada saat itu, rakyat
Cikarang, termasuk K.H. Muhammad Fudholi dan anak-anaknya berlari
mencari tempat persembunyian yang aman. Konon menurut cerita, pada waktu
itu, di daerah Cikarang banyak terdapat lubang bawah tanah, yang
berfungsi untuk berlindung dari serangan Belanda, Jepang, dan penjajah
lainnya.
Setelah
waktu magrib tiba, datanglah H. Murdan yang merupakan anggota Laskar
Rakyat dari pimpinan H. Darip menjemput K.H. Muhammad Fudholi untuk
pulang ke pondokan. Isu Belanda yang menyerang kawasan Cikarang, tidak terbukti. Ada oknum lain yang coba mencari kesempatan, dalam kesempitan.
Karena terlalu banyaknya garong pada masa itu, yang menjadikan konflik intern Bangsa Indonesia , dan berakibat lambatnya kemerdekaan yang diraih oleh rakyat Indonesia .
Maka, K.H. Muhammad Fudholi beserta pemerintah RI mengumpulkan para
garong yang ada di daerah Cikarang dan sekitarnya, untuk kemudian
dijadikan pemimpin dalam pemerintahan. Dengan harapan, setelah para
garong tersebut mempunyai posisi yang enak, tidak ada lagi ketakutan
rakyat, yang disebabkan oleh para garong. Namun, rencana tinggalah
rencana, para garong tersebut tetap saja membuat gaduh suasana, dan
memperlambat pengusiran para penjajah yang datang ke Negara Indonesia .
Melihat tidak ada perubahan akhlak dari garong yang dijadikan pemimpin. Akhirnya, pemerintah Republik Indonesia ,
mengambil tindakan tegas, dengan mengutus TRI, untuk secepatnya
melenyapkan para garong. Karena mendapatkan perintah yang cukup ekstrim,
anggota TRI menembaki pada garong yang dijadikan pemimpin, saat mereka
sedang bermain sepak bola di daerah Karawang.
Pada
saat pengangkatan garong menjadi seorang camat, Kabupaten Cikarang
masih bernama Mester Cornelis. Daerahnya meliputi Karawang sampai dengan
Jatinegara.
Wilayah
Jatinegara dulunya memang bernama Mester Cornelis. Sampai sekarang,
pasar Jatinegara pun disebut pasar Mester. Nama Mester Cornelis mengacu
kepada seorang bernama Cornelis Senen, seorang pria kaya asal Pulau
Lontor, Banda, Maluku, yang bermukim di Batavia .
Cornelis menjadi guru agama Kristen, membuka sekolah, dan memimpin
ibadat agama Kristen, serta menyampaikan khotbah dalam Bahasa Melayu dan
Portugis. Jabatannya sebagai guru itulah, yang membuat ia mendapat
gelar Meester, atau ‘tuan guru’(http//forumbudaya.org)
Conelis
berniat menjadi pendeta, tetapi ia ditolak. Belanda memberi dia hak
istimewa untuk menebang pohon di tepi Kali Ciliwung. Dia juga mempunyai
sebidang tanah luas, penuh dengan pepohonan, itulah yang kemudian
dikenal dengan nama Meester Cornelis. Menjelang berakhirnya masa
penjajahan Belanda, kawasan itu menjadi suatu kotapraja tersendiri.
Wilayahnya mencakup Bekasi sekarang ini (http//forumbudaya.org)
Wilayah Mester Cornelis berubah nama menjadi Jatinegara pada zaman Jepang. Ada
yang berpendapat, perubahan tersebut dikarenakan di daerah itu
ditemukan banyak pohon jati. Namun, ada pula yang berpendapat, nama
Jatinegara mengacu kepada ‘negara sejati’ yang sudah dipopulerkan
Pangeran Jayakarta jauh sebelumnya. Pangeran Jayakarta mendirikan
perkampungan Jatinegara Kaum di wilayah Pulogadung, Jakarta Timur,
setelah belanda menghancurkan keratonnya di Sunda Kelapa (http//forumbudaya.org).
Perang kemerdekaan 1945, adalah masa ketika bangsa Indonesia
mulai mengorganisasikan angkatan perangnya untuk melawan kaum
imperialis. Dalam kaitan ini, laskar-laskar rakyat berada dalam garda
terdepan perjuangan, sekaligus cikal bakal tentara nasional yang
memiliki daya juang tangguh dan loyalitas tinggi terhadap republik. Pada
masa revolusi kemerdekaan, semua komponen bangsa terlibat dalam
perjuangan perang semesta
melawan kekuatan penjajah, meski keterlibatan warga sipil dalam perang
kemerdekaan tersebut, amat tergantung pada kemauan dan kesukarelaan
mereka sendiri.(R. Soebijono. Wajib Militer (Jakarta : Penerbit Djambatan.tt).,hlm,26.)
Ketika
masa mempertahankan kemerdekaan, keterlibatan warga sipil sebagai unsur
pertahanan Negara lebih bervariasi. Pada awal revolusi, Pemerintah Indonesia
tidak membentuk tentara resmi. Elemen pembentukan BKR, TKR, TRI, hingga
TNI, dibangun dengan tiga unsur utama, yang masing-masing memiliki
latar belakang yang berbeda, yakni mantan anggota KNIL, mantan anggota
PETA, dan laskar rakyat. Tiga kekuatan inilah yang menjadi tulang
punggung awal militer Indonesia hingga kini.(http://cenya95.wordpress.com/)
Pemberdayaan
semua komponen bangsa, diperlukan dalam mempertahankan kedaulatan
Negara. Hal ini juga sesuai dengan amanat Panglima Besar Jenderal
Sudirman: “bahwa Negara tidak cukup dipertahankan oleh tentara saja,
maka perlu sekali mengadakan kerjasama yang seerat-eratnya dengan
golongan, serta badan-badan di
luar tentara.” Pernyataan Panglima Besar Sudirman pada Konferensi
Tentara Keamanan Rakyat di Markas TKR Jogjakarta, tanggal 12 November
1945, merupakan keputusan yang ditindaklanjuti oleh Tentara Keamanan
Rakyat waktu itu, yang kemudian menjadi TNI, untuk selalu bersama
rakyat, menyelenggarakan pertahanan Negara mempertahankan kemerdekaan. (http://cenya95.wordpress.com/)
Sekitar tahun 1945, K.H. Muhammad Fudholi menjabat sebagai ketua KNI (Keamanan Negara Republik Indonesia ).
Setelah itu, K.H. Muhammad Fudholi kembali menjabat sebagai ketua
tentara Hizbullah Fii Sabiilillah sampai kemudian munculnya TRI (Tentara
Republik Indonesia ).
Setelah
menjabat sebagai ketua TRI, K.H. Muhammad Fudholi menjabat sebagai
anggota DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) dari partai
Masyumi, selama kurang lebih satu tahun. Pada saat itu, kabupaten yang
dipakai adalah Kabupaten Mester Cornelis, yang meliputi
Jatinegara-Karawang. Teman seletingan K.H. Muhammad Fudholi waktu di
DPRGR diantaranya adalah, Bapak Suryati, Bapak Hasyibuan, H. Hasyim, dan
H. Abdurrahman (sekarang namanya dikenang dengan dijadikan nama sebuah
jalan di daerah Bekasi Kota)
Partai
Masyumi yang didirikan pada tahun 1945, terpaksa bubar pada tahun 1960.
Dapat dikatakan, partai Masyumi adalah partai Islam terbesar di dunia
pada saat itu. Partai ini juga mengemukakan dialog yang produktif antara
Islam dan demokrasi. Sejarah partai itu, dilihat dari kegiatan maupun
programnya, yang membawa kita pada suatu pertanyaan yang sulit, namun
menarik, mengenai identitas Islam di hadapan pluralisme politik. Selama
masa gejolak yang dialami Indonesia ,
partai Masyumi menyusun dan mempertahankan suatu ideal demokrasi Islam,
yang merupakan subtitusi dari pertarungan politik dan parlementer
tentang tuntunan agar Negara Islam didirikan. (http//nusantaraonline.org)
Ihwal
konsep kenegaraan, Masyumi memperjuangkan terbentuknya Negara hukum
menurut Islam dengan bentuk republik. Karena itu, Masyumi menolak sekularisme, memisahkan antara Negara dan agama. Masyumi meyakini, agama adalah sesuatu yang tak boleh dipisahkan dari Negara. (http//nusantaraonline.org)
Masalah yang kemudian datang pada saat K.H. Muhammad Fudholi menjabat anggota dewan, munculah PKI (Partai Komunis Indonesia )
yang mengacaukan semua elemen kehidupan. Masyarakat khawatir bila ingin
keluar rumah. Beberapa kyai menjadi daftar pembunuhan mereka. Dan
menurut penuturan dari Ustadzah Yayah Zakiah, K.H. Muhammad Fudholi
adalah Kyai pertama yang menjadi target PKI. Karena perlindungan Allah
dan pembelaan masyarakat, K.H. Muhammad Fudholi selamat sampai PKI
memang telah hilang dari bumi Indonesia .
Menurut
penuturan Ustadzah Yayah Zakiah, setelah pertempuran melawan PKI yang
pada saat itu banyak orang menyebut tokoh Pak Harto, Kota Cikarang
memang sudah sangat aman. Masyarakat bisa bebas melakukan aktifitas
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa ada rasa ketakutan.
Selesai
konflik PKI, K.H. Muhammad Fudholi kembali melakukan aktifitasnya
dengan mengajar di pondok MJA, dan beberapa tempat yang menjadi
pengajian rutinnya. Sampai kemudian, K.H. Muhammad Fudholi menghembuskan
nafas terakhirnya pada tanggal 26 Januari 1974. K.H. Muhammad
menghembuskan nafas terakhir, Seminggu setelah kembali dari menunaikan
ibadah haji untuk yang kesekian kali.
Setelah
K.H. Muhammad Fudholi meninggal dunia, MJA dipegang oleh Ustad Malikul
Husna(suami dari Zahrotul Mila). Setelah itu, dilanjutkan oleh Ustad
Dasuki, Ustad Salim, Ustad Muia, dan beberapa guru bantu. Kepemimpinan
MJA (Madrasah Jannatul Amal) terakhir dipegang oleh cucu dari K.H.
Muhammad Fudholi yang bernama Ustad Cecep, dan kemudian Ustad
Hayatullah. Entah sebab kenapa, makin hari santri dari MJA semakin berkurang, hingga akhirnya sekarang tinggal sebuah nama.
Selang beberapa tahun dari keruntuhan MJA, Ustadzah Yayah Zakiah yang tidak lain anak dari K.
H. Muhammad Fudholi, berinisiatif mendirikan Majlis Taklim dan TPA
dengan lokasi yang berbeda, namun tidak jauh dari MJA. Dengan
mendapatkan kesempatan dari Allah sebagai anggota dewan dari Partai
Golkar selama 10 tahun, Ustadzah Yayah Zakiah dengan kesungguhan hati
meneruskan perjuangan menegakan
Islam, melanjutkan perjuangan ayahnya. Saat ini, Ustadzah Yayah Zakiah
mempunyai sebuah TK, PG, TPA, MTs, MA, dan Bimbingan haji, yang
kesemuanya berada di bawah satu asuhan Ustadzah Yayah Zakiah, dan diberi
nama ‘Yayasan Darunnadwah/Yayasan Atsuroya, yang berlokasi di daerah
Cikarang Utara, tepat di belakang Polsek Cikarang Utara.
§
Makam
K.H. Muhammad Fudholi saat ini berlokasi di Jl. Bayangkara, KarangAsih,
Cikarang Utara, Bekasi, yang tidak lain adalah lokasi Pondok Pesantren
Madrasah Jannatul Amal. Sekitar tahun 1990-an, pemerintah Bekasi yang
pada saat itu diwakili oleh Wakil Bupati, memberikan tanda kehormatan
dengan menancapkan bendera merah putih di makam beliau. Pemerintah
Bekasi pada saa itu meyakini bahwa K.H. Muhammad Fudholi merupakan salah
satu dari pejuang Bekasi, karena keihklasannya dalam berdakwah dan
membela tanah air.
Menurut berita dari Ustadzah Yayah Zakiah, K.H. Muhammad Fudholi sebenarnya masih mempunyai hubungan saudara dengan
pujangga lama Khairil Anwar. Khairi Anwar, menikah dengan Nyonya
Hafsoh, yang tidak lain adalah ponakan dari K.H. Muhammad Fudholi. Dari
hasil pernikahannya dikaruniai dua orang anak. Pernikahan Khairil Anwar
dilangsungkan di Kota Karawang, tepatnya daerah Anjun. Pada saat itu,
K.H. Muhammad Fudholi menjadi saksi dalam pernikahan Khairil Anwar.
Khairil Anwar dilahirkan di Medan , 26 Juli 1922. dan meninggal di Jakarta , 28 April 1949. ia dikenal dengan sebutan ‘ Si Binatang Jalang’. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin , ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor angkatan 45, dan puisi modern Indonesia .
Khairil
Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, yang bekerja
sebagai Pamongpraja. Dari pihak ibunya, Saleha, dia masih punya
pertalian keluarga dengan Sutan Syahrir, perdana menteri pertama Indonesia .
§
Menurut penuturan H. Soekarma (1957-1960), Yang
dengan dibantu menantunya BPk. H. Deden Ruhyadi, sekarang ia sudah
mempunyai sebuah TPA, TK, Madrasah Tsanawiyah yang berlokasi di daerah
Citarik, Cikarang Timur Bekasi. K.H. Muhammad Fudholi adalah sosok ustad
yang mempunyai wibawa yang sangat tinggi. K.H. Muhammad Fudholi adalah
sosok yang terkesan angker dimata para santri. Dengan postur tubuh yang tinggi kekar, menambah keyakinan bahwa K.H. Muhammad Fudholi itu
memang orang yang cukup disegani di wilayah Cikarang. Semua santri
mesti tidak ada yang berbicara kala K.H. Muhammad Fudholi memberikan
penjelasan tentang ilmu agama.
Pada
saat H. Soekarma bersekolah dan menjadi santri di MZA, K.H. Muhammad
Fudholi posisinya dalam struktur sekolah sebagai penasehat. Sementara
untuk kepala Madrasah, dipimpin oleh menantunya K.H. Qizwini (suami dari
Ustadzah Yayah Zakiah). Pengalaman H. Soekarma mengaji dengan K.H.
Muhammad Fudholi hanya pada waktu selesai solat subuh saja. Ketika
selesai solat subuh, semua santri berbaris di musholah untuk bertanya
tentang hal-hal yang mereka tidak ketahui, dan proses mengaji ini
dikenal dengan istilah ngaji sorogan.
Menurut penuturan H. Muhammad Yasin (1951-1956), Julukan yang biasa dipakai anak-anak santri untuk K.H. Muhammad Fudholi adalah ‘ustad gede’. Kalau beliau mengajar sangat enak sekali, tidak bisa digambarkan. Ketika K.H. Muhammad Fudholi sedang
mengajar, suaranya terdengar sangat empuk dan mudah difahami. Saat H.
Muhammad Yasin menuntut ilmu di MJA, beberapa guru yang menjadi staf
pengajarnya adalah Ustad Royani, Ustadzah Yayah Zakiyah (anak K.H.
Muhammad Fudholi), Ustadzah Dadah (anak K.H. Muhammad Fudholi ), Ustad
Qizwini (menantu K.H. Muhammad Fudholi).
Menurut
H. Muhammad Yasin. Setiap hari Jumat, semua santri libur sekolah,
digantikan dengan pengajian kaum ibu. Ibu-ibu menempati ruangan kelas
MJA untuk menerima ceramah agama yang disampaikan oleh K.H. Muhammad
Fudholi. Ketika proses pengajian berlangsung, kaum ibu hanya mendengar
suara K.H. Muhammad Fudholi saja,
dan tidak melihat paras wujudnya. Ini dilakukan karena memang saat
proses pengajian kaum ibu, dibatasi dengan hijab yang sangat tertutup.
Tidak ada pandangan haram yang dapat melunturkan niat untuk mencari
keridhoan Allah.
Ketika H. Muhammad Yasin bersekolah di MJA, beliau pernah mendengar kabar burung kalau K.H. Muhammad Fudholi pada
saat itu memang sudah menjadi incaran Partai Komunis Indonesia (PKI),
untuk dijadikan target pembunuhan. Konon pada waktu itu, para kiyai
menjadi sasaran utama PKI. PKI tidak menginginkan Islam berkembang di
kawasan Cikarang khususnya.
Pada saat proses belajar mengajar, menurut H. Muhammad Yasin. Keadaan kota
Cikarang memang belum aman. Masih banyak bentrokan fisik yang terjadi.
Baik itu yang berasal dari pemberontakan Darul Islam, Negara Islam
Indonesia, yang dipimpin oleh Kartosoewirjo, atau pemberontakan yang
memang tidak memihak, yang tidak jelas maksud dan tujuannya. Oleh sebab
itu, dalam menjalani proses pembelajaran, masih sangat jauh dari
ketenangan.
Sekarmadji
Maridjan Kartosoewiryo lahir di Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1905.
meninggal 5 September 1962 pada umur 57 tahun. Ia adalah seorang ulama
karismatik yang memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII) di
Tasikmalaya pada tahun1949. Kartosoewiryo memproklamirkan NII pada
tanggal 7 Agustus 1949. tercatat beberapa daerah menyatakan menjadi
bagian dari NII terutama Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
Pemerintah Indonesia
kemudian bereaksi menjalankan operasi untuk menangkap Kartosoewiryo.
Gerilya NII melawan pemerintah berlangsung lama. Pejuang Kartosoewiryo
berakhir ketika aparat keamanan menangkapnya setelah melalui proses
perburuan panjang di wilayah Gunung Rakutak di Jawa Barat, pada 4 Juni
1962. Pemerintah Indonesia kemudian menghukum mati Kartosoewiryo pada September 1962 http://id.wikipedia.org/
§
DAPTAR PUSTAKA
Asep (cucu dari K.H. Muhammad Fudholi)
H. Soekarma (alumni MZA tahun 1957)
H. Muhammad Yasin (alumni MZA 1951)
http//razzleay.multiply.com
http//nusantaraonline.org
http//forumbudaya.org
R. Soebijono. Wajib Militer (Jakarta : Penerbit Djambatan.tt).,hlm,26
Ustadzah Yayah Zakiah
0 komentar:
Posting Komentar