Pers Mahasiswa Sebagai Pers Nasional
Pada
awal-awal kejatuhan rejim orde baru, peran pers mahasiswa sangat terasa.
Melalui apa yang mereka sebut sebagai newsletter, para aktivis pers mahasiswa di
Jakarta melalui “Bergerak”, Yokyakarta melalui “Gugat”, ataupun kota-kota besar
lainnya mengadakan liputan jurnalistik mengenai berbagai aksi mahasiswa untuk
menggulingkan rejim orde baru. Kegiatan mereka terlihat kompak, karena antara
satu kota
dengan kota
lainnya terjalin kontak melalui media internet.
Diantara
mereka saling berkirim kabar mengenai berbagai aktivitas mahasiswa di kota mereka masing-
masing. Visi jurnalistik mereka untuk memberikan liputan yang memenuhi
kaidah-kaidah jurnalisme tertentu diramu dengan visi idealistik mereka untuk
melakukan kontrol sosial telah melahirkan suatu bentuk media perjuangan baru:
mewsletter perjuangan. Berbeda dengan pamflet yang hanya berisi ajakan
provokatif untuk melakukan aksi masa tertentu, media ini selain menampilkan
hal-hal yang bersifat provokatif, juga memunculkan hal-hal yang bersifat
informatif, misalnya agenda aksi.
Merujuk
pada namanya, “pers mahasiswa”, esensi karakter aktivitas pers yang digawangi
mahasiswa sebenarnya sudah jelas. Persma adalah entitas-sintesis dari dua
subjek yang sama-sama potensial dan berat; yang satu “pers” dan satunya lagi “mahasiswa”. Sebagai
pers, ia dituntut menjadi pelopor perubahan dan pemecah kebekuan. Maka ketika
kedua entitas ini digabungkan, dapat dibayangkan betapa besar, agung, dan
beratnya nama itu.
Pada
dasarnya, setiap pers di negara ini ditujukan untuk memegang fungsi to
inform ( informasi ), to educate ( pendidikan ), to
Entertaint ( hiburan ), serta sosial kontrol. Untuk menjalankan
fungsi itu, didalam UU pokok pers no. 40 tahun 1999 lembaga pers juga
dibenarkan berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Artinya selain menjalankan tugas
mulia yaitu memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai
demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan HAM, kemidian mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang
tepat, akurat dan benar. Lalu melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran
terhadap hak yang berkaitan dengan kepentingan umum serta harus memperjuangkan
keadilan dan kebenaran, pers juga dibenarkan mencari keuntungan komersil.
Meski
secara gamblang kita tak pungkiri fungsi terakhir sering menjadi utama bagi
segagian pers di Indonesia ,
artinya keuntungan finansial dijadikan tujuan utama dengan mengenyampingkan
tugas dan fungsi lain seperti di atas.
Peran
ideologis yang dijalankan media ditunjukkan dengan kemampuan untuk menjadi
pembentuk agenda masyarakat sebagaimana ditunjukkan dalam teori agenda setting
media ( McQuail dan Windhal, 1984; Liftlejhon, 1996; Severein dan Tankard, 1997
). Dalam era reformasi peran ideologis untuk menentukan agenda publik ini
menjadi amat terasa keampuhannya. Dengan kemampuannya sebagai gate
keeperpers, mahasiswa bisa menciptakan agenda media ( media agenda
) dan pada gilirannya nanti akan mempengaruhi agenda publik ( publik agenda
) dan pada gilirannya nanti akan mempengaruhi agenda kebijakan ( policy agenda
).
Pengaruh
yang ditimbulkan oleh media melalui kemampuannya menciptakan agenda publik dan
agenda kebijakan ini bisa dibedakan menjadi tiga macam, yaitu refresentasi (
publik bisa menciptakan pengaruh tertentu pada media ), persistensi
( pemeliharaan
agenda yang sama oleh publik ). Relasi kekuatan antara media dengan sumbernya
bisa terwujud dalam bentuk perimbangan kekuatan diantara keduanya. Apabila
diantara media dengan sumbernya sama-sama mempunyai kekuatan yang besar, akan
terjadi perjuangan untuk saling berebut pengaruh. Hal ini terjadi apabila
diantara kedua keduanya tidak terjadi kesesuaian ideologi tertentu. Namun
apabila mereka mempunyai kesamaan ideologi, pengaruh keduanya akan sangat besar
pada publik. Pengaruh yang sama tidak akan ditemui apabila kekuatan antara
media dengan sumbernya tidak berimbang, misal salah satu pihak lebih dominan
atau keduanya sama-sama dominan. Dalam kasus terakhir, pengaruh publiklah yang
akan terasa.
Sementara
pers mahasiswa yang lebih bercirikan sebagai media komunitas ketimbang media massa akan menghadapi
kesulitan untuk sepenuhnya menjalankan fungsi seperti pers umum. Ini karena
persma memiliki etos yang disebut ‘asas jurnalisme menantang’, sarat opini
ketimbang fakta ( scientific journalism ), serta political-state-oriented .
Dan
alam pikiran persma yang terwujud dalam penampilan bahasa jurnalistiknya yang
meliputi tiga bentuk : konsep abstrak, pernyataan-pernyataan “keharusan”, dan
lontaran-lontaran “pernyataan”. Dari sini, sangatlah jelas bahwa persma selama
ini terlampau gampang melanggar asas-asas jurnalisme konvensional yang
senantiasa mengedepankan fakta ketimbang opini dan menjunjung tinggi
objektivitas.
Untuk
menggambarkan karakter watak pers mahasiswa, mari kita amati empat ciri
kehidupan mahasiswa yang membedakannya dengan warga masyarakat umumnya adalah :
(1) mahasiswa adalah kelompok kaum muda, yang masih merasakan mentalitas kaum
muda-dinamis, radikal, lugas; (2) mahasiswa adalah kelompok yang menjalani
sistem pendidikan formal-modern yang mampu membuat mereka berfikir rasional,
kritis, skeptis dan objektif; (3) mahasiswa merupakan yang relatif independen,
hanya berkepentingan terhadap masa depan kemanusiaan yang lebih baik, dan tak
punya keterikatan materialis, politis, ideologis; (4) mahasiswa merupakan
kelompok subsistem dalam masyarakat karena itu mahasiswa senantiasa ingin
berinovasi, berorientasi pada hal-hal yang normatif, fundamental, prinsipil.
Tipologi
mahasiswa sebagai kelompok kelas menengah yang khas dalam masyarakat itu,
kemudian melatar belakangi etos dalam “idealisme persma”-kalaulah istilah
ini wajar kita pakai. Situasi inilah yang mengarahkan mahasiswa pada
pikiran-pikiran yang normatif, ideal, fundamental melulu, seringkali mengenyampingkan
realitas. Akibatnya, antara berpikir ideal dan realita, mahasiswa jatuh lebih
banyak kepada pemikiran-pemikiran ideal. Singkatnya, “fitrah” mahasiswa adalah
kaum utopis. Dengan karakter yang begitu unik, aktivitas mahasiswa dalam
mengelola pers mahasiswa akan memberikan kontribusi penting bagi tumbuh
kembangnya civil society di Indonesia. Salah satu konsekwensi yang pasti
muncul adalah terbuka luasnya ruang publik ( public sphere ) dengan dialog
argumentatif nilai-nilai yang saling bertentangan.
Keberhasilan
pers mahasiswa dalam membantu menumbuhkembangkan civil society di Indonesia akan
dapat berhasil dengan baik apabila ia mampu memenuhi validitas keshahiannya.
Artinya pers mahasiswa harus mampu tampil secara profesional sebagaimana pers
umum. Tanpa profesionalitas itu, pers mahasiswa memang hanya akan menjadi
laboratorium jurnalistik belaka.
Namun
begitu saat ini kehidupan pers mahasiswa tidak terlalu jauh dari visi
jurnalistik umum. Para pengelola pers
mahasiswa sekarang ini lebih concern dengan hal-hal yang berhubungan aspek
jurnalistik dibanding aspek idealistik. Hal ini sangat bisa dimaklumi mengingat
semangat profesionalisme merupakan satu dominan di masa depan. Aktif di lembaga
semacam pers mahasiswa merupakan suatu peluang penting untuk mempelajari suatu
profesi tertentu yaitu dunia kewartawanan pada khususnya dan dunia
tulis-menulis pada umumnya. Apapun latar belakang pendidikan para pengelola
pers mahasiswa, setelah mereka lulus nanti, mereka telah mrmpunyai satu profesi
tertentu untuk digeluti lebih lanjut. Terlebih sekarang ini telah terjadi
booming media massa ,
baik cetak maupun elektronika. Profesi sebagai jurnalis terbuka lebar bagi
mereka yang berkiprah di lembaga pers mahasiswa.